Semoga proposal saya ini bisa bermamfaat untuk
panduan perjalanan proposal anda.
Banda Aceh, 12 Febuari 2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak merupakan manusia kecil yang
memiliki potensi yang harus dikembangkan. Anak memiliki karakteristik tertentu
yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis,
antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan
mereka seolah-olah tidak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Anak
bersifat egosentris, dan memiliki rasa ingin tahu secara alamiah. Anak
merupakan makhluk sosial, unik, kaya dengan fantasi, memiliki daya perhatian
pendek, dan memiliki masa yang paling potensial untuk belajar (Sujiono, 2009).
Keluarga merupakan unsur terpenting
dalam perawatan anak mengingat anak bagian dari keluarga. Kehidupan anak dapat
ditentukan oleh lingkungan keluarga, untuk itu keperawatan anak harus mengenal
keluarga sebagai tempat tinggal atau sebagai konstanta tetap dalam kehidupan
anak. Anak juga sangat membutuhkan dukungan yang sangat kuat dari keluarga, hal
ini dapat terlihat bila dukungan keluarga pada anak kurang baik, maka anak akan
mengalami hambatan pada dirinya yang dapat mengganggu psikologis anak. Tetapi,
jika dukungan keluarga terhadap anak sangat baik, maka pertumbuhan dan
perkembagan anak akan stabil. Dukungan kepada anak akan tercermin salah satunya
melalui pola asuh (Hidayat, 2005).
Pola asuh keluarga sangat berpengaruh
terhadap pembentukan karakter anak. Setiap keluarga biasanya memiliki pola asuh
terhadap anak yang berbeda-beda. Pola
asuh juga berpengaruh terhadap keberhasilan keluarga dalam mentransfer dan
menanamkan nilai-nilai agama, kebaikan, dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Pola asuh anak meliputi interaksi antara orang tua dan anak dalam
pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologis (Fathi, 2003).
Wong et al. (2008) menggolongkan pola
asuh anak menjadi tiga, yaitu: pola asuh otoriter, pola asuh permisif dan pola
asuh otoritatif. Pada pola asuh otoriter, orang tua sangat menanamkan disiplin
pada anaknya dan menuntut prestasi tinggi. Namun, dipihak lain orang tua tidak memberikan
kesempatan pada anaknya untuk mengumukakan pendapat sesuatu sekaligus memenuhi
kebutuhan anak. Tipe pola asuh otoriter ini membuat anak mandiri karena sifat
orang tua yang terlalu disiplin dan tegas. Tetapi, kemandirian anak tersebut
bukan lahir dari kesadarannya sendiri, melainkan kemandirian karena sikap orang
tua yang terlalu memaksa dalam memperoleh prestasi anak.
Sedangkan pola asuh permisif, orang tua
menunjukkan sikap demokratis dan kasih sayang tinggi, tetapi dengan kendali dan
tuntutan prestasi yang rendah. Pada tipe pola asuh ini anak tidak mandiri karena
orang tua terlalu memanjakan anaknya sehingga anak tidak peduli dengan tanggung
jawab, susah bergaul, dan dapat menghambat perkembangan moral anak.
Demikian juga dengan pola asuh
otoritatif, orang tua memberikan kontrol dengan mengendalikan anak untuk
mencapai target tertentu. Akan tetapi, orang tua juga memberi anak kesempatan
untuk menyampaikan keluhan dan pendapatnya. Dalam penelitian Wong menunjukkan
bahwa pola pengasuhan otoritatif sangat mendukung perkembangan kemandirian (healthy autonomy) pada anak.
Kemandirian pada anak umumnya dikaitkan
dengan kemampuan anak untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Apakah itu makan
sendiri, memakai baju sendiri, dan menalikan sepatunya sendiri tanpa harus
tergantung pada bantuan orang lain. Anak yang mempunyai rasa mandiri akan mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan dan dapat mengatasi kesulitan yang
terjadi. Disamping itu anak yang mempunyai kemandirian akan memiliki stabilitas
emosional dan ketahanan yang mantap dalam menghadapi tantangan dan tekanan
didalam kehidupannya (Hogg & Blau, 2004).
Kemandirian pada anak berawal dari
keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Di dalam keluarga, orang
tualah yang berperan dalam mengasuh, membimbing dan membantu mengarahkan anak untuk
menjadi mandiri. Masa anak-anak merupakan masa yang paling penting dalam proses
perkembangan kemandirian, maka pemahaman dan kesempatan yang diberikan orang
tua kepada anak-anaknya dalam meningkatkan kemandirian sangatlah krusial.
Meskipun dunia sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada
anak untuk mandiri, keluarga tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam
pembentukan kemandirian anak (Mu’tadin dkk, 2002).
Terkait dengan pola asuh dan kemandirian
anak, sebuah penelitian yang dilakukan Suseno (2010) tentang hubungan antara pola asuh
orang tua dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK Aisyiyah Mendungan Sukoharjo.
Dengan sampel yang digunakan sebanyak 20 siswa. Didapatkan hasil bahwa ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh dan kemandirian dengan
kemampuan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan
dari hasil pengambilan data awal yang penulis dapat dari observasi terhadap 7
anak di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh besar, bahwa 4 orang anak
terlihat mandiri dan 3 anak terlihat kurang mandiri. Setelah dilakukan
wawancara dengan 7 orang tua anak tersebut, 4 dari orang tua yang anaknya
tampak aktif dan lebih mandiri mengatakan bahwa dirumah mereka sering membiasakan
anak untuk melakukan atau memilih sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan
oleh anak. Seperti, berpakaian sendiri, memakai sepatu sendiri, belajar makan
sendiri dan kadang-kadang orang tua mengajak anak untuk melakukan hal-hal kecil
dalam membantu pekerjaan rumah. Sementara 3 orang tua dari anak yang tampak
kurang aktif dan kurang mandiri, mereka mengatakan bahwa mereka jarang
melibatkan anak dalam memilih atau melakukan sesuatu hal untuk anak lebih banyak
ditentukan oleh orang tua. Seperti, pada saat makan di rumah orang tua selalu
menyuapinya, dan ketika anak meminta sesuatu, orang tua selalu menuruti apa
yang diinginkan oleh anak.
Berdasarkan paparan diatas, maka penulis
tertarik melakukan penilitian dengan judul “Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua
dengan Kemandirian Anak Usia Prasekolah di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun
2012”.
B.
Perumusan
Masalah
Bagi orang tua dalam mendidik anak
dengan pola asuh yang benar dapat mewujudkan atau meningkatkan kemandirian yang
ada dalam diri anaknya. Pola asuh yang dimaksud adalah dapat terjadinya
komunikasi dua arah antara orang tua dengan anak. Pola asuh orang tua diduga
kuat ada kaitannya dengan kemandirian seorang anak pada masa belajar di Taman
Kanak-Kanak. Pada usia taman kanak-kanak atau memasuki usia prasekolah (3-6
tahun), anak tentunya sudah tidak lagi selalu berada dalam lingkungan keluarga
saja, tetapi mereka mulai bergerak bebas dilingkungan luar dan menemukan
perilaku baru pada anak-anak lain yang mempunyai karakteristik kemandirian yang
berbeda.
Dalam menyikapi berbagai macam pengaruh
dari luar supaya tidak semuanya masuk dalam diri anak, orang tua harus mampu
berperan aktif untuk meminimalisir segala macam pengaruh buruk tersebut. Namun pada
kenyataanya, orang tua tidak memberikan pengarahan yang sesuai dengan perkembangan
anaknya, mereka justru memberikan cinta kasih dan fasilitas secara berlebihan
sehingga anak jarang melakukan usahanya sendiri dan memperoleh segala
sesuatunya dengan cara yang serba instan.
Berdasarkan latar belakang di atas maka
dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut: “Adakah Hubungan Antara Pola
Asuh Orang Tua dengan Kemandirian Anak Usia Prasekolah di TK Kamaliah Kuta Baro
Aceh Besar tahun 2012?”
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui
hubungan antara pola
asuh orang tua secara otoriter dengan kemandirian anak usia
prasekolah di TK Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
2.
Mengetahui hubungan pola asuh orang tua
secara permisif dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK Kamaliah Kuta
Baro Aceh Besar tahun 2012.
3.
Mengetahui hubungan pola asuh orang tua
secara otoritatif dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK Kamaliah Kuta
Baro Aceh Besar tahun 2012.
D. Mamfaat Penelitian
1.
Peneliti
Dapat mengaplikasikan
teori yang telah didapat dan mengetahui kaitan antara teori dengan penerapan di
masyarakat.
2.
Masyarakat
Sebagai bahan masukan
dan informasi bagi orang tua yang memiliki anak usia 3-6 tahun untuk
meningkatkan pola asuh yang baik bagi anak-anak mereka sehingga kemandirian
anak dapat tercapai.
3.
Institusi
Pelayanan
Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan tinjauan keilmuan dalam bidang
manajemen keperawatan anak, dan dapat meningkatkan mutu pelayanan di sekolah
khususnya tentang hubungan antara pola asuh orang tua dengan kemandirian anak
di TK Kamaliah.
4.
Institusi Pendidikan
Dapat memberikan data
tentang berbagai tipe pola asuh dalam hubungannya dengan kemandirian pada
anak, sehingga dapat dijadikan dasar dalam membuat kurikulum pembelajaran
khususnya pada anak.
5.
Peneliti
Lain
Dapat
memperdalam dan memperluas kajian tentang
pola asuh orang tua dengan kemandirian anak usia prasekolah.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Pola
Asuh
1.
Definisi
Orang tua mempunyai peran dan fungsi
yang bermacam-macam dalam keluarga, salah satunya adalah sebagai pola asuh kepada
anak. Gunarsa (2002) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua
memberikan aturan-aturan, dalam memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu
perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan
mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan pengertian pola asuh orang tua
terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orang tua.
Sedangkan Edwards (2006) mengatakan
bahwa pola asuh merupakan interaksi anak dan orang tua dalam mendidik,
membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan
sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh
dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.
Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak
adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat
yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang
diterapkan bedasarkan nilai-nilai keluarga, karena pola asuh anak sangat
berhubungan terhadap nilai-nilai yang dimiliki dalam suatu kekuarga. Pengasuhan
terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Peran
pengasuhan atau perawatan anak lebih banyak dipegang oleh ibu meskipun mendidik
anak merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal pengasuhan, proses yang utama
diberikan oleh keluarga kepada anak adalah pendidikan yang dapat menumbuhkan kemandirian
anak (Supartini, 2004).
Pendidikan kemandirian untuk anak dalam
keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan
anak untuk menjadi dewasa yang mandiri, dengan demikian menjadi hak dan
kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik anak-anaknya.
Tugas orang tua adalah melengkapi anak dengan memberikan pengawasan yang dapat
membantu anak agar dapat menghadapi kehidupan dengan sukses. Pola asuh pada
dasarnya diciptakan oleh adanya interaksi antara orang tua dan anak dalam
hubungan sehari-hari yang berevolusi sepanjang waktu, sehingga orang tua akan
menghasilkan anak-anak sealiran, karena orang tua tidak hanya mengajarkan
dengan kata-kata, contoh-contoh tetapi juga dengan nasehat-nasehat yang mudah
dimengerti oleh anak (Hidayat, 2005).
Kemudian Rimm (2003) juga mengartikan pola
asuh sebagai saran dan nasehat-nasehat yang diberikan oleh keluarga, dan guru
kepada anak disaat kelahiran hingga anak lulus dari perguruan tinggi yang
kesemuanya itu bermaksud baik. Sebagian dari saran dan nasehat yang orang tua
dan guru berikan akan berguna, sementara sebagian lagi dapat berlawanan atau
ketinggalan zaman. Pola asuh apapun yang keluarga dan guru pilih untuk anak
cenderung akan dikritik oleh anak setelah mereka besar.
Pola asuh yang dilakukan orang tua kepada
anak, sangat memungkinkan anak menjadi bertanggung jawab, menjadi masyarakat
yang baik, memiliki karakter-karakter baik. Apa yang dilakukan orang tua ketika anak sakit, ketika anak tidak mau
makan, ketika sedih, ketika menangis, ketika bertindak agresif, atau ketika
anak berbohong. Dalam hal ini, orang tua dituntut supaya lebih siap dalam
menjalankan peran pengasuhan terhadap anak supaya mereka memiliki keterampilan
hidup dan dapat membangun kemandirian yang optimal saat usia dewasa (Sunarti,
2004).
Shirfrin (1997, dalam supartini, 2004)
mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam
menjalankan peran pengasuhan yaitu dengan menjaga kesehatan anak dengan cara
regular memeriksakan dan mencari pelayanan imunisasi, mengamati segala sesuatu
dengan berorientasi pada masalah anak, memberi nutrisi yang adekuat kepada
anak, memperhatikan keamanan dan melaksanakan praktik pencegahan kecelakaan,
selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak dan selalu memilih cara pola asuh
yang tepat untuk anak.
Pola asuh orang tua yang tepat untuk
anak adalah dengan menggunakan pola asuh otoritatif yang bersikap lemah lembut
kepada anak, tidak boleh berlaku keras dan berhati kasar kepada anak, memaafkan
anak-anak jika anak salah, dan memberi ampun kepada mereka. Pola asuh yang
tepat sangat bervariasi tergantung pada masalah anak dan keadaan anak itu
sendiri. Sebagai pencegahan terhadap munculnya masalah perkembangan anak
(Prayitno & Basa, 2004).
Dari uraian pola asuh di atas dapat
disimpulkan bahwa pola asuh merupakan cara orang tua mendidik, membimbing, melindungi
dan mengontrol anak-anak mereka dalam kehidupan sehari-hari di rumah.
2.
Macam-Macam
Pola Asuh
Wong et al.(2008) mengategorikan pola
asuh menjadi tiga jenis, yaitu: pola asuh permisif, otoriter dan otoritatif.
a)
Pola
Asuh Permisif
Pola asuh permisif merupakan
jenis pengasuhan orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak
mereka. Orang tua terlalu cuek terhadap anaknya. sehingga, apa pun yang mau
dilakukan anak diperbolehkan seperti, tidak sekolah, bandel, melakukan pergaulan
bebas negatif dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).
Jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak
terlalu memberi bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang. Kendali
anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan permisif
diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga
lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Anak hanya diberi materi
atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Dengan
begitu anak nantinya akan berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa
tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak peduli dengan tanggung jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk,
kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, baik ketika
kecil maupun sudah dewasa. ini merupakan cara terburuk dalam mengasuh anak
(Fathi, 2003).
Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan terhadap anak
untuk berbuat apa saja ternyata tidak sangat kondusif bagi pembentukan karakter
anak. Secerdas dan sehebat apapun seorang anak, anak tetap memerlukan arahan
dari orang tua untuk mengenal mana yang baik dan mana yang salah. Memberi
kebebasan yang berlebihan, terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan
berpotensi salah arah (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa dalam pola asuh
permisif, orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas
tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang bingung
antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari untuk memaksakan
standar prilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka
sendiri sebanyak mungkin.
Yahaya & Latif (2006)
menggambarkan pola asuh permisif dicirikan oleh corak komunikasi yang terbuka
dan orang tua kurang menekankan tingkah laku yang baik pada anak. Sikap pola
asuh orang tua yang permisif adalah:
1) Tidak
membuat peraturan kepada anak dan anak selalu diberi kebebasan yang penuh.
2)
Kurang menggunakan kontrol dan apabila
perlu, mereka menggunakan penjelasan ataupun sebab-sebab dan tidak menggunakan
kuasa ataupun kekerasan dalam mengasuh anak.
3)
Tidak menggunakan kuasa secara terbuka
dan langsung.
4)
Berkomunikasi secara terbuka dan tidak
mencoba membentuk tingkah laku anak.
5)
Tidak bersifat menghukum dan meneriama
impuls dan keinginan anak.
6)
Berperanan sebagai sumber yang memenuhi kehendak
anak dan bukan sebagai agen-agen aktif yang terlibat dalam penentuan tingkah
laku anak.
7) Membiarkan
anak mengatur aktivitas-aktivitas sendiri tanpa pengawasan orang tua.
8) Mencoba
menyediakan keadaan yang membimbing kearah perkembangan anak tetapi gagal
membentuk hak-hak batasan yang tegas kepada anak atau pun menghendaki anak
bertingkah laku matang.
Sedangkan menurut Wong at al. (2008) orang
tua yang menerapkan pola asuh permisif mempunyai ciri sebagai berikut:
1) Kurang
memberikan kontrol.
2) Mengizinkan
anak untuk berbuat apa saja.
3) Tidak ada aturan ketat dari orang
tua, dan anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar.
4) Reward ”tidak diberikan untuk
perilaku yang baik, karena ada anggapan bahwa persetujuan sosial sebagai reward”.
5) Punishment ”tidak diberikan karena memang
tidak ada aturan yang mengikat”.
6)
Tidak menetapkan batasan-batasan yang
logis.
7)
Orang tua menganggap dirinya sebagai
sumber bukan sebagai model peran untuk anak.
b)
Pola
Asuh Otoriter
Pola
asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan
orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan
kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan
keputusan karena semua keputusan berada ditangan orang tua. Orang tua yang otoriter
menekankan kepatuhan anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak
bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua
kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semena-mena
kepada anak (Widyarini, 2003).
Yahya & Latif
(2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu cara dimana orang tua
menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah laku anak dengan membuat
peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi oleh anak dan tidak membenarkan anak
mengikuti peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua
tersebut.
Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan
beberapa bentuk aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak tanpa mau tahu
perasaan anak. Orang tua akan emosi jika anak melakukan hal yang tidak sesuai
dengan yang diinginkan oleh orang tua. Hukuman mental dan fisik akan sering
diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin
serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan
teknik asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau selalu berada
dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci
orang tua dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).
Sikap otoriter yang digunakan orang tua
dalam pola asuh anak, akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat bearti
dalam kehidupan anak. Apabila ini terjadi pada saat anak dalam proses tumbuh
kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan anak akan terhambat. Dengan
demikian, pola asuh secara otoriter yang digunakan keluarga dalam mendidik anak
sangat tidak dianjurkan karena akan memperberat kondisi anak dalam keluarga
(Hidayat, 2005).
Keluarga yang menganut pola asuh otoriter
biasanya, anak-anak mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan keputusan,
bahkan untuk dirinya sendiri karena semua keputusan berada ditangan orang tua
dan dibuat oleh orang tua, sementara anak harus mematuhinya tanpa ada
kesempatan untuk menolak ataupun mengemukakan pendapat. Pola asuh otoriter
cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang
tua dengan anak, sehingga antara orang
tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi, 2003).
Wong at al. (2008) menjelaskan bahwa
pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak
melalui perintah yang tidak boleh di batah. Mereka menetapkan aturan yang
dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka
menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut. Otoriter orang tua
dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam
pengambilan keputusan, seperti “lalukan saja karena saya mengatakan begitu”.
Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat
digambarkan sebagi berikut (Yahya & Latif, 2006).
1) Mengkontrol
tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan-peraturan yang ketat, menilai
tinggi ketaatan dan keakuran.
2) Tidak
mengamalkan tolak ansur secara lisan dan anak-anak harus mengikuti perintah
tanpa pengecualian.
3) Keputusan
orang tua tidak boleh dibantah.
4) Apa
yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang yang harus dipatuhi
oleh anak.
5) Menggunakan
kaedah-kaedah disiplin yang bersifat hukuman.
6) Tidak
responsif atas kehendak anak, bersikap tidak fleksibel dan ketat dalam
pengawalan tingkah laku anak.
Sedangkan
Wong at al. (2008) menkategorikan ciri-ciri orang tua yang menerapkan pola asuh
otoriter sebagai berikut.
1) Kaku.
2) Tegas.
3) Orang
tua memaksa anak-anak untuk patuh pada nilai-nilai mereka.
4) Membatasi
keputusan dari anak.
5) Mengabaikan alasan-alasan yang masuk
akal dan anak tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.
6) Reward ”penghargaan jarang diberikan
pada perbuatan anak yang benar, baik dan berprestasi”.
7) Punishment
“hukuman selalu diberikan pada
perbuatan anak yang salah dan melanggar aturan”.
8) Suka
menghukum anak secara fisik.
Menurut Middlebrook
(1993, dalam Fathi, 2003) hukuman fisik yang biasanya diterapkan dalam pola
asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak. Hal itu dapat
menyebabkan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1) Menyebabkan
anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu sangat mengganggu pribadi anak
sendiri sehingga anak juga tidak akan bisa belajar dengan optimal.
2)
Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan
atau sakit hati pada diri anak yang mendorng tingkah laku agresif.
3)
Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas
sasarannya dan lebih membawa efek negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk
memukul atau merusak hanya ketika orang tua ada didekatnya, tetapi akan segera
melakukan tindakan merusak setelah orang tua tidak ada.
4) Tingkah
laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak sehingga anak akan
menirunya.
Pola asuh otoriter yang
diterapakan orang tua kepada anak cenderung bersifat tidak puas dengan diri
anak, tidak boleh dipercaya, selalu berubah mengikuti keadaan, cemas, ganas
secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam berhubungan dengan kawan-kawan
sebaya dan menarik diri secara sosial.
c)
Pola Asuh Otoritatif
Pola
asuh otoritatif merupakan sikap orang tua yang mengizinkan dan mendorong anak
untuk membicarakan masalah mereka, memberi penjelasan yang rasional tentang
peran anak dirumah dan menghormati peran serta orang tua dalam pengambilan
keputusan meskipun orang tua pemegang tanggung jawab yang tinggi dalam keluarga
(Prayitno & Basa, 2004).
Pola
asuh otoritatif, didasari atas pengertian dan rasa hormat orang tua terhadap
anaknya. Disini orang tua memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi
berbagai hal sesuai usia perkembangan anak, dengan mensensor batasan dan
pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh otoritatif adalah pola pengasuhan
yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak
yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan,
kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan
menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai
lingkungan dan masyarakat lainnya (Prayitno & Basa, 2004).
Dalam
pola asuh otoritatif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya secara rasional,
berorientasi pada maslah yang dihadapi, menghargai komunikasi yang saling
memberi dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap
permintaan tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu, mengharapkan anak
untuk mematuhi orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara anak dan
orang tua. Orang tua tidak mengambil posisi mutlak dan tidak juga mendasari
pada kebutuhan anak semata (Widyarini, 2003).
Menurut
Wong et al. (2008) pola asuh otoritatif ditandai dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Kontrol
yang kuat disertai dukungan, pengertian dan keamanan.
2) Semua
keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua.
3) Mengizinkan
anak untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuannya.
4) Dalam
bertindak, orang tua selalu memberikan alasan yang masuk akal kepada anak.
5) Anak diberi kesempatan untuk
menjelaskan mengapa ia melanggar peraturan sebelum hukuman dijatuhkan.
6) Punishment ”diberikan kepada perilaku yang
salah dan melanggar peraturan”.
7) Reward ”yang berupa pujian dan
penghargaan diberikan kepada perilaku yang benar dan berprestasi”.
8) Orang
tua selalu memilih pendidikan yang terbaik untuk anaknya.
Sedangkan Yahya & Latif (2006), menggambarkan
sifat orang tua dalam otoritatif sebagai berikut.
1) Orang
tua lebih fleksibel dan rasional dalam mendidik anak.
2) Menggunakan
kontrol tegas tetapi membenarkan kebebasan yang sesuai dengan tahap perkembangan
anak.
3) Menjelaskan
nilai-nilai mereka dan menaruh harapan yang tinggi supaya anak mematuhinya.
4) Peramah
dan tidak melihat diri sebagai manusia yang tidak membuat kesilapan dalam
tanggung jawab mereka sebagai orang tua.
5) Responsive,
memberi kesempatan dan menghormati kepentingan anak, mesra tapi tegas.
Pola asuh otoritatif lebih kondusif dalam pendidikan anak. Hal ini
terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Baumrind, yang menunjukkan bahwa
orang tua yang otoritatif lebih mendukung perkembangan anak terutama dalam hal
kemandirian dan tanggung jawab (Fathi, 2003).
Menurut Arkoff (1993,
dalam Fathi, 2003) anak yang dididik dengn cara otoritatif umumnya cenderung
mengungkapkan agresifitasnya dalam tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk
kebencian yang bersifat sementara. Artinya, jika marah, kemarahannya tidak akan
berlarut-larut apa lagi sampai mendendam. Disisi lain, anak yang dididik secara
otoriter atau ditolak akan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresifitasnya
dalam bentuk tindakan-tindakan yang merugikan. Sementara itu, anak yang dididik
secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka
atau terang-terangan.
Bedasarkan ciri-ciri pola asuh diatas, dapat disimpulkan
bahwa pola asuh otoriter memiliki ciri pokok tidak demokratis dan menerapkan kontrol
yang kuat. Berbeda dengan pola asuh otoritatif yang bersifat demokratis, tetapi
juga menerapkan kontrol. Berbeda juga dengan pola asuh permisif yang bersifat
demokratis, tetapi tanpa memberi kontrol kepada anak. Dengan pendekatan yang
tidak demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter,
tidak mengherankan bila pola asuh otoriter yang akan mengakibatkan atau
berdampak negatif terhadap anak.
3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Pola Asuh
Wong
(2001, dalam Supartini, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola
asuh orang tua sebagai berikut.
a)
Pendidikan Orang Tua.
Pendidikan
diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan
perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku,
pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam
perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan
peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada
masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai
perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam
setiap pendidikan anak.
b) Usia
Orang Tua.
Tujuan undang-undang perkawinan salah
satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial
dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya
dengan kesiapan menjadi orang tua. Walaupun demikian, rentang usia tertentu
adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau
terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal
karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
c)
Keterlibatan Ayah.
Peran
ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika dibandingkan
dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya
menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri (Rimm, 2003).
Pendekatan
mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi baru lahir, sama
pentingnya hubungan antara ibu dan anak bayi sehingga dalam proses persalinan,
ibu dianjurkan ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk
mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan menyusukannya (bonding and
attachment). Dengan demikian, kedekatan hubungan antara ibu dan anak sama
pentingnya dengan ayah dan anak walaupun secara kodrati akan ada perbedaan,
tetapi tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah tidak
terlibat secara langsung pada bayi baru dilahirkan. Maka beberapa hari atau
minggu kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok,
bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam perawatan anak
(Supartini, 2004).
d)
Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh
Anak.
Orang
tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih
siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu
mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.
Hasil
riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya
dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih
relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan
dan perkembagan anak yang normal.
Pertumbuhan
merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel diseluruh bagian tubuh anak yang
secara kuantitatif dapat ditulis. Sedangkan perkembagan merupakan bertambah
sempurnanya fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan
dan belajar (Hidayat 2005).
e)
Stres Orang Tua.
Stres
yang dialami oleh ayah atau ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang
tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan
strategi koping yang dimilki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun
demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua, misalnya
anak dengan temperemen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan
mental.
Stres
merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai dengan meningkatnya emosi yang
tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah yang
berlangsung lama, gelisah, cemas dan takut. Stres adalah istilah yang muncul
bersamaan kehidupan masyarakat saat ini. Orang tua mengatasi stress dengan cara
yang berbeda-beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan atas
kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak (Prayitno & Basa,
2004).
Sedangkan
menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor yang mempengaruhi pola asuh, yaitu:
a) orang
tua yang telah memiliki pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain,
tampaknya lebih santai dan memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan
disiplin, dan mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan
yang normal.
b) jumlah
stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu
kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau dalam
menghadapi perilaku anak mereka.
c) karakteristik,
seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat menyebabkan orang tua kehilangan
kepercayaan diri dan meragukan kemampuan mereka dalam mengasuh anak.
d) hubungan
perkawinan orang tua yang dapat memberi efek negatif terhadap pola asuh, karena
tekanan atau ketegangan pernikahan dapat mengganggu rutinitas pemberian
perawatan dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak. Sebaliknya, orang tua
yang saling mendukung dan mendorong dapat memberi pengaruh positif pada
terciptanya peran menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al., 2008).
B.
Kemandirian Anak
1.
Definisi Kemandirian Anak
Kemandirian anak
merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri
atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan
anak (Prasasti & Lie, 2005). Menurut Familia (2006), Kemandirian anak adalah anak yang mampu berpikir
dan berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang anak yang mandiri biasanya aktif,
kreatif, kompeten, tidak tergantung pada orang lain, dan tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat penting
karena mereka salah satu life skil
yang perlu dimiliki.
Kemandirian diartikan
sebagai suatu sikap yang harus dikembangkan oleh seorang anak untuk dapat
menjalani kehidupan tanpa ketergantungan pada orang lain. Kemandirian tidak
hanya berlaku bagi anak tetapi juga pada semua tingkatan usia. Setiap manusia
perlu mengembangkan kemandirian dan melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan
kapasitas dan tahapan perkembangannya. Secara alamiah anak mempunyai dorongan
untuk mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Tanggung jawab merupakan
perilaku anak yang menentukan bagaimana anak bereaksi terhadap situasi setiap
hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral di dalam
membentuk kemandirian (Prasasti & Lie, 2005).
Brammer & shostrom
(1982, dalam Ali & Asrori, 2010) mengatakan, bahwa pembahasan mengenai
kemandirian tidak terlepas dari pembahasan mengenai perkembangan kemandirian anak
itu sendiri. Soelaeman (1988, dalam Wong, 2010) mengatakan bahwa perkembagan
kemandirian merupakan proses yang menyangkut unsur-unsur normatif, yang
mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses yang terarah. Peran
orang tua dalam pengasuhan anak usia prasekolah sangat penting karena orang tua
adalah guru pertama dalam pendidikan anak untuk mengembangkan kemandiriannya.
Wong et al. (2010)
mengungkapkan bahwa usaha pendidikan yang dilakukan secara sungguh-sungguh oleh
orang tua untuk mengembangkan kemandirian anak menjadi sangat penting karena
selain problema anak dalam bentuk perilaku negatif juga terdapat gejala negatif
yang dapat menjauhkan anak dari kemandirian diusia selanjutnya yang berdampak
negatif bagi anak. Kartadinata (1988, dalam Wong et al., 2010) mengemukakan
gejala-gejala tersebut sebagai berikut.
a)
Ketergantungan disiplin kepada kontrol
luar dan bukan karena nilai sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan
mengarah kepada perilaku formalistik
dan ritualistik serta tidak
konsisten. Situasi seperti ini akan menghambat pembentukan etos kerja dan etos
kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan
kemandirian anak.
b)
Sikap tidak peduli terhadap lingkungan
hidup. anak mandiri bukanlah anak yang lepas dari keluarganya melainkan anak
yang bertranseden terhadap keluarganya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan
hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa kemandirian
anak masih rendah.
c) Sikap
hidup kompromistik tanpa pemahaman
dan kompromistik dengan mengorbankan
prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya dapat diatur yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk ketidakjujuran berfikir dan
bertindak serta kemandirian yang masih rendah.
Gejala-gejala yang dipaparkan Kartadina di atas merupakan
sebagian kendala utama dalam
mempersiapkan kemandirian anak dalam kehidupan dimasa mendatang yang penuh
tantangan. Oleh sebab itu, perkembangan kemandirian anak menuju kearah
kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius,
sistematis dan terprogram. Sebab, masalah kemandirian sesungguhnya bukanlah
hanya masalah dalam generasi (intergeneration),
tetapi juga masalah antargenerasi (between
generation). Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan
antargenerasi akan tetap memposisikan kemandirian sebagi isu aktual dalam
perkembangan anak (Wong et al., 2010).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa kemandirian anak merupakan suatu kemampuan untuk berfikir, merasakan, serta
anak melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan mampu mengatur diri
sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibantu
oleh orang lain.
2.
Ciri-Ciri
Kemandirian Anak
Adapun ciri khas kemandirian pada anak,
diantaranya (Familia, 2006).
a) Anak
yang mandiri mempunyai kecenderungan memecahkan masalah dari pada berkutat
dalam kekhawatiran bila terlibat masalah.
b) Anak
yang mandiri tidak takut dalam mengambil resiko karena sudah mempertimbangkan
hasil sebelum berbuat.
c) Anak
percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya
atau meminta bantuan.
d) Anak
mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya.
Masrun, dkk (1986, diakses melalui www.lib.ug.co.id
diperoleh pada tanggal 13 November 2011) membagi kemandirian ke dalam lima
komponen yaitu sebagai berikut.
a) bebas,
artinya bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang lain dan tidak
bergantung pada orang lain.
b) progresif,
artinya berusaha untuk mengejar prestasi, tekun dan terencana dalam mewujudkan
harapannya.
c) inisiatif,
yaitu mampu berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan penuh
inisiatif.
d) terkendali
dari dalam, dimana individu mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu
mengendalikan tindakannya serta mampu mempengaruhi lingkungan, dan atas
usahanya sendiri.
e) kemantapan
diri (harga diri dan percaya diri), termasuk dalam hal ini mempunyai rasa
percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima dirinya dan memperoleh
kepuasan dari usahanya.
3.
Aspek-Aspek
Kemandirian Anak
Havighurst (1972, dalam Agus, Ds. 2009) menkategorikan aspek-aspek
kemandirian anak sebagai berikut.
a)
Aspek intelektual, yaitu kemauan untuk
berfikir dan menyelesaikan masalah sendiri.
b)
Aspek sosial, yaitu kemauan untuk
membina relasi secara aktif.
c)
Aspek emosi, yaitu kemauan untuk
mengelola emosinya sendiri.
d) Aspek
ekonomi, yaitu kemauan untuk mengatur ekonomi sendiri.
Sedangkan menurut Ara (1998,
di akses melalui www.papers.gunadarma.ac.id
diperoleh pada tanggal 13 November 2011). Aspek-aspek kemandirian anak
sebagai berikut.
a) Kebebasan
Kebebasan merupakan hak asasi bagi
setiap manusia, begitu juga seorang anak. Anak cenderung akan mengalami
kesulitan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dan mencapai tujuan hidupnya,
bila tanpa kebebasan. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalam
kebebasannya membuat keputusan.
b) Inisiatif
Inisiatif merupakan suatu ide yang diwujudkan
ke dalam bentuk tingkah laku. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat
dalam kemampuannya untuk mengemukakan ide, berpendapat, memenuhi kebutuhan
sendiri dan berani mempertahankan sikap.
c) Percaya
Diri
Kepercayaan diri merupakan sikap individu
yang menunjukkan keyakinan bahwa dirinya dapat mengembangkan rasa dihargai.
Perwujudan kemandirian anak dapat dilihat dalam kemampuan untuk berani memilih,
percaya akan kemampuannya dalam mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu
yang baik.
d) Tanggung
Jawab
Aspek tanggung jawab tidak hanya
ditunjukkan pada diri anak itu sendiri tetapi juga kepada orang lain.
Perwujudan kemandirian dapat dilihat dalam tanggung jawab seseorang untuk
berani menanggung resiko atas konsekuensi dari keputusan yang telah diambil,
menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk membedakan atau memisahkan
antara kehidupan dirinya dengan orang lain di lingkungannya.
e) Ketegasan
Diri
Ketegasan diri menunjukkan adanya suatu
kemampuan untuk mengandalkan dirinya sendiri. Perwujudan kemandirian seeorang
dapat dilihat dalam keberanian seseorang untuk mengambil resiko dan
mempertahankan pendapat meskipun pendapatnya berbeda dengan orang lain.
f) Pengambilan
Keputusan
Dalam kehidupannya, anak selalu
dihadapkan pada berbagai pilihan yang memaksanya mengambil keputusan untuk
memilih. Perwujudan kemandirian seseorang anak dapat dilihat di dalam kemampuan
untuk menemukan akar permasalahan, mengevaluasi segala kemungkinan di dalam
mengatasi masalah dan berbagai tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus
mendapat bantuan atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa.
g) Kontrol
Diri
Kontrol diri memiliki pengertian yaitu
suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, baik
dengan mengubah tingkah laku atau menunda tingkah laku, tanpa peraturan atau
bimbingan dari orang lain. Dengan kata lain, sebagai kemempuan untuk mengontrol
diri dan perasannya, sehingga seseorang tidak merasa takut, tidak cemas, tidak
ragu atau tidak marah yang berlebihan saat dirinya berinteraksi dengan orang
lain atau lingkungan.
4.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kemandirian Anak
Basri (1995, di akses melalui www.papers.gunadarma.ac.id
diperoleh pada tanggal 13 November 2011). berpendapat bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi pembentukan kemandirian anak sebagai berikut.
a)
Faktor
Internal
Faktor internal
merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam diri anak itu sendiri,
seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala
perlengkapan yang melekat padanya.
1)
Faktor Peran Jenis Kelamin
Secara fisik anak
laki-laki dan wanita tampak jelas perbedaan dalam perkembangan kemandiriannya.
Dalam perkembangan kemandirian anak laki-laki biasanya lebih aktif dari pada
anak perempuan.
2) Faktor
Kecerdasan atau Intelegensi
Anak yang memiliki
intelegensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu yang membutuhkan
kemampuan berfikir. Sehingga, anak yang cerdas cenderung cepat dalam membuat
keputusan untuk bertindak, dibarengi dengan kemampuan menganalisis yang baik
terhadap resiko-resiko yang akan dihadapi. Intelegensi berhubungan dengan
tingkat kemandirian anak. Artinya, semakin tinggi intelegensi seseorang anak
maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.
3) Faktor
Perkembangan
Kemandirian akan
banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak. Oleh sebab itu,
orang tua perlu mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai dengan kemampuan
anak.
b)
Faktor
Eksternal
Faktor eksternal merupakan
pengaruh yang berasal dari luar anak, sering pula dinamakan faktor lingkungan.
Lingkungan kehidupan yang dihadapi anak sangat mempengaruhi perkembangan keperibadian
seseorang, baik dalam segi-segi positif maupun negatif. Biasanya, jika
lingkungan keluarga, sosial, dan masyarakatnya. Meskipun cenderung akan
berdampak positif dalam hal kemandirian anak terutama dalam bidang nilai dan
kebiasaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.
1)
Faktor Pola Asuh
Untuk dapat
mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga
serta lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari
lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah
dilakukannya.
2)
Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial
budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak,
terutama di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar
belakang sosial budaya yang beragam.
C.
Anak Prasekolah
1.
Definisi
Anak Prasekolah
Anak prasekolah merupakan mereka yang berusia 3 sampai 6
tahun (Hidayat, 2005). Sedangkan menurut Supartini (2004) Anak
usia prasekolah adalah pribadi yang mempunyai berbagai macam potensi yang harus
dikembangkan. Potensi yang harus dikembangkan anak adalah kemandirian, karena
pada usia prasekolah anak sudah mulai belajar memisahkan diri dari keluarga dan
orang tuanya untuk memasuki suatu lingkungan yang lebih luas yaitu lingkungan Taman
Kanak-Kanak atau taman bermain. Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk
pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4
tahun sampai memasuki pendidikan dasar.
Pada usia prasekolah, anak sudah mulai
mampu mengembangkan kreativitasnya dan sosialisasi sehingga sangat diperlukan
permainan yang dapat mengembangkan kemampuan menyamakan dan membedakan,
kemampuan berbahsa, mengembangkan kecerdasan, menumbuhkan sportifitas,
memperkenalkan pengertian yang bersifat ilmu pengetahuan, memperkenalkan
suasana kompetensi, gotong-royong, mengembangkan koordinasi motorik,
mengembangkan dalam mengontrol emosi, motorik kasar dan halus (Hidayat, 2005).
Hidayat (2005) menggambarkan
perkembangan-perkembangan fisik pada anak prasekolah, seperti badan mengalami
kenaikan rata-rata pertahunnya adalah 2 kg, kelihatan kurus akan tetapi
aktivitas motorik tinggi, di mana sistem tubuh sudah mencapai kematangan
seperti berjalan dan melompat. Pada
pertumbuhan khususnya ukuran tinggi badan anak akan bertambah rata-rata
6,75-7,5 cm setiap tahunnya.
2.
Ciri-Ciri
Anak Usia Prasekolah
Snowman (1993, dalam potmonodewo, 2003),
mengemukakan ciri-ciri anak usia prasekolah yang biasa ada di TK, yang meliputi
aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak.
a) Ciri
Fisik Anak Prasekolah atau TK
Penampilan maupun gerak-gerik prasekolah
mudah dibedakan dengan anak yang berada dalam tahapan sebelumnya. Anak
prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka telah memilki penguasan atau kontrol
terhadap tubuhnya dan sangat menyukai kegiatan yang dilakukannya sendiri.
b) Ciri
Sosial Anak Prasekolah atau TK
Anak prasekolah
biasanya mudah bersosialisasi dengan orang disekitarnya. Umumnya anak pada
tahapan ini memiliki satu atau dua sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti. Mereka
umumnya dapat cepat menyesuaikan diri secara sosial.
c) Ciri
Emosional pada Anak Usia Prasekolah atau TK
Anak TK cenderung
mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Sikap marah sering
diperlihatkan oleh anak pada usia tersebut.
d) Ciri
Kognitif pada Anak Usia Prasekolah atau TK
Anak prasekolah umumnya
telah terampil dalam berbahasa. Sebagian dari mereka senang bicara, khususnya
dalam kelompok.
3.
Karakteristik
Bermain pada Masa Prasekolah
Bermain merupakan suatu aktivitas di mana
anak dapat melakukan atau mempraktikkan keterampilan, memberikan ekspresi
terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan
berperilaku dewasa (Hidayat, 2005).
Suryadi (2010) menggambarkan
karakteristik bermain anak prasekolah sebagai berikut.
a) Permainan
imaginative yang dominan.
b) Permainan
dramatic yang menonjol.
c)
Fokus pada pengembangan ketrampilan
gerakan halus.
d) Senang
berlari, meloncat atau melompat.
e)
Berkhayal dengan kawan bermain.
f)
Mulai dengan koleksi-koleksi.
g)
Senang membangun sesuatu misalnya dari
pasir atau adonan.
h) Permainannya
sederhana dan imaginative.
Suryadi (2010) juga menggambarkan contoh
permainan dan aktivitas anak usia prasekolah sebagai berikut.
a) Buku
bacaan.
b) Bahan-bahan
yang dapat dibuat bangunan atau diciptakan.
c) Bahan-bahan
yang dapat diwarnai dengan gambar.
d) Bahan
yang lempung, cat kayu, pasir yang dibuat bangunan atau membuat adonan.
e) Memotong,
alat pukulan yang lempung.
f) Boneka,
bahan-bahan mainan seperti, binatang dan lain-lain.
g) Mengenakan
pakaian.
h) Musik
yang ada suara lagunya, papan tulis sederhana seperti menulis di papan magnet,
kartu game.
i)
Video game, TV yang sesuai dengan usia.
D.
Penelitian
Terkait
Penelitian yang
dilakukan oleh Kiswanti
(2005) tentang hubungan pola asuh
orang tua dengan kemandirian anak di TK Pangudi Luhur Bernardus Semarang tahun
2010. Penelitian dilakukan dengan obyek penelitiannya siswa dan orang tua
anak yang bersangkutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orang tua
memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kemandirian anak. Di mana pemerolehan
nilai korelasi sebesar 0,613. Hal ini menunjukkan akan perlunya pemberian
sedikit toleransi kepada anak untuk diberikan pola asuh yang benar agar dapat
memicu anak untuk dapat melakukan segala sesuatunya secara mandiri.
Penelitian lain
dilakukan oleh Astuti (2005) tentang pengaruh pola asuh orang tua
terhadap kemandirian siswa dalam belajar pada siswa kelas XI SMA Negeri Sumpiuh
Kabupaten Banyumas tahun 2005. Hasil penelitian
didapatkan ada pengaruh pola asuh orang
tua terhadap kemandirian siswa dalam belajar pada siswa kelas XI. Diterima dan
kontribusi pola asuh orang tua terhadap kemandirian siswa dalam belajar sebesar
63,92 %. Hal ini berarti bahwa meningkat atau menurunnya kemandirian siswa
dalam belajar ditentukan oleh pola asuh orang tua sebesar 63,92% sedangkan
sisanya 36,08 % ditentukan oleh faktor lain yang juga berpengaruh terhadap
kemandirian siswa dalam belajar.
Penenilitian tentang pola asuh dengan
kemandirian anak juga dilakukan oleh Winarsih (2010) hubungan pola asuh
terhadap kemandirian belajar anak di TK Ara/ba Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo
tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
1. ada
hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan kemandirian
belajar di sekolah. Hal ini berdasarkan perhitungan uji korelasi sederhana
diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,525 (Positif), dan nilai
signifikansi < 0,05 yaitu 0,18.
2. ada
hubungan positif yang signifikan antara pola asuh permisif dengan kemandirian
belajar di rumah. Hal ini berdasarkan perhitungan uji korelasi sederhana
diperoleh nilai koefisiensi korelasi sebesar 0,685 (Positif) dan nilai
signifikansi < 0,05 yaitu 0,001. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada
hubungan positif antara pola asuh anak permisif dengan kemandirian belajar anak
yang artinya semakin tinggi penerapan pola asuh diberikan maka semakin tinggi
kemandirian belajar anak.
E.
Kerangka
Konsep
Kerangka konsep ini
disimpulkan berdasarkan tinjauan kepustakaan diatas.
Skema
2.1 Kerangka
Konsep
Penelitian
Teori-teori
Kemandirian anak
1.Teori
perkembangan kemandirian (Brammer & Shostrom).
2.Teori
pembagian (Maslow).
3.Teori
pembagian (Masrun, dkk).
4.Teori
gejala-gejala (Kartadinata).
5.Teori
kemandirian dua faktor (Basri).
|
Kemandirian anak
|
Pola asuh
Permisif
Otoriter
Otoritatif
|
Teori-teori
pola asuh
1. Teori
peran pengasuhan (Shirfrin).
2. Teori
tiga pola asuh (Wong et al).
3. Teori
pola asuh otoriter (Middlebrook).
4. Teori
pola asuh otoritatif (Arkoff).
|
Faktor-faktor
pola asuh
-
Pendidikan orang tua
-
Usia orang tua
-
Keterlibatan ayah
-
Pengalaman dalam mengasuh
anak.
|
Faktor-faktor kemandirian anak
Faktor
internal
-
Faktor peran Jenis Kelamin
-
Faktor kecerdasan atau
Inteligensi
-
Faktor perkembangan
Faktor eksternal
- Faktor
pola asuh
-
Faktor sosial budaya
|
BAB
III
KONSEP
KERANGKA PENELITIAN
A.
Kerangka
Kerja Penelitian
Kerangka kerja penelitian ini terdiri
dari variabel independen dan variabel dependen. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah pola asuh yang dikemukakan oleh Wong et
al. (2008) yang terdiri dari pola asuh permisif, otoriter dan otoritatif.
Sedangkan variabel dependen adalah kemandirian anak yang dikemukakan oleh Familia, (2006) dan Prasasti & Lie, (2005). Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada skema berikut.
Variabel
Independen Variabel
Dependen
Pola Asuh
Permisif
Otoriter
Otoritatif
|
Kemandirian anak
|
Skema
3.1 Kerangka Kerja Penelitian
B. Hipotesis Penelitian
Dari kerangka kerja penelitian diatas, maka yang
menjadi hipotesis penelitian ini adalah:
1.
Ha:
Ada hubungan pola asuh permisif dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK
Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
2.
Ha:
Ada hubungan pola asuh otoriter dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK
Kamaliah Kuta Baro Aceh Besar tahun 2012.
3. Ha: Ada hubungan pola
asuh otoritatif dengan kemandirian anak usia prasekolah di TK Kamaliah Kuta
Baro Aceh Besar tahun 2012.
C. Definisi Operasional
Untuk
mempermudah dalam memahami proses penelitian ini, maka penulis membuat
penjelasan secara lebih rinci dibuat dalam bentuk definisi operasional dalam
tabel sebagai berikut :
Tabel
3.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
No
|
Variabel/
Subvariabel
|
Definisi konseptual
|
Definisi
operasional
|
Cara ukur
|
Alat ukur
|
Hasil ukur
|
Skala
ukur
|
Independen
1
|
Pola asuh permisif
|
Pengasuhan
orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak. Orang tua
memperboleh kan anak melakukan apa saja seperti, tidak sekolah, bandel,
melakukan pergaulan bebas negatif dan sebagainya.
|
Cara
orang tua mengasuh anak dengan menuruti semua keinginan dan membiarkan anak
melakukan apa saja yang ingin anak lakukan di rumah tanpa pengawasan sama
sekali dari orang tua.
|
Wawancara
|
Kuesioner
dalam bentuk skala likert (selalu,
sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah)
yang terdiri
dari 20 item pertanyaan
|
Ya jika:
X ≥
Tidak
jika:
X
<
|
Ordinal
|
2
|
Pola
asuh otoriter
|
Pengasuhan
orang tua yang sangat ketat dan kaku dalam mendidik anak. Anak-anak tidak
diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada
ditangan orang tua.
|
Cara
orang tua mengasuh anak dengan meggunakan sikap tegas dari orang tua yang
harus dituruti anak dan melarang anak untuk mengembangkan kemampuan nya
didalam kehidupan sehari.
|
Wawancara
|
Kuesioner
dalam bentuk skala likert (selalu,
sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah)
yang terdiri
dari 20 item pertanyaan
|
Ya jika:
X ≥
Tidak
jika:
X
<
|
Ordinal
|
3
|
Pola
asuh otoritatif
|
Pengasuhan
yang didasari atas pengertian dan rasa hormat orang tua terhadap anaknya. Orang
tua memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai
hal sesuai usia perkembangan anak, dengan mensensor batasan dan pengawasan
yang baik dari orangtua.
|
Cara
orang tua mengasuh anak dengan memberikan kebebasan kepada anak-anak mereka
untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan usia perkembangan anak tetapi
tidak terlepas dari pengawasan orang tua di rumah.
|
Wawancara
|
Kuesioner
dalam bentuk skala likert (selalu,
sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah)
yang terdiri
dari 20 item pertanyaan
|
Ya jika:
X ≥
Tidak
jika:
X
<
|
Ordinal
|
Dependen
B.
|
Kemandirian anak
|
Anak yang mampu berpikir dan
berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang anak yang mandiri biasanya aktif,
kreatif, kompoten, tidak tergantung pada orang lain, dan tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat
penting karena mereka salah satu life
skil yang perlu dimiliki.
|
Suatu
kemampuan anak untuk memikir, merasakan,
serta anak melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan mampu mengatur
diri sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari di rumah tanpa
dibantu oleh orang lain.
|
Wawancara
|
Kuesioner
dalam bentuk skala likert (selalu,
sering, kadang-kadang, jarang, tidak pernah).
|
Ya jika:
X ≥
Tidak
jika:
X
<
|
Ordinal
|
NOTE :
Jika
saudara ingin menguasai isi skripsi silahkan anda mencoba untuk
menyusunkannya sendiri, Allah akan membantu dan memberikan jalan untuk
terselesaikannya proposal sampai skripsi saudara dan insyallah saudara
kedepannya akan dibutuhkan oleh orang lain karena saudara sudah mengerti
tehnik penyusunan skripsi (Pengalaman saya).
Proposal ini formal walaupun postingannya melalui blogspot.
Bab
IV,V Dan VI itu dari hasil penelitian saudara, hanya saja dibab IV
saudara harus menggunakan rumus yang pembimbing saudara arahkan.
Untuk hiburan saudara, silahkan kunjungi profil saya di youtube
www.musicbiatch.com/.../janji-silanget-by-irsan-woyla-avi/
Terima kasih,
Semoga bermamfaat
tolong kirim juga daftar pustakanya maz,butuh banget...
BalasHapusminta tolong y
daftar pustakanya dong :)
BalasHapusbab 3 nya ngga ada lanjutannya ya?
Hapusmembantu banget nii gan
BalasHapusdaftar pustaka nya dongk gan...
maaf mas saya minta tolong banget bisa tolong kirim daftar pustakanya atau refensi buku atau kemandirian anak mas ... bisa tolong kirim lewat email saya andina.febriani97@yahoo.com... tolong dibalas . terimakasih
BalasHapusKok ga di sertakan kuesionernya nihh.. butuh banget kuesionernya terutama yang pola asuh permisif nyaa..
BalasHapussangat membantu.
BalasHapusterimakasih gan.
tolongin ya daftar pustakanya mana?? saya butuh untuk referensi saya?
BalasHapuscukup membantu dalam pembuatan skripsi saya tapi maaf sebelumnya saya minta tolog bgt kirimkan daftar pustakanya dan referesi buku yang dipakai.. tolong kirimkan melewati email saya wenchy260992@gmail.com.. terima kasih. Gbu
BalasHapuska boleh kirim daftar pustakanya?
BalasHapusindahdwimonica00@gmail.com
mas mintak daftar pustakanya
BalasHapusdiahlestari245@gmail.com
mas mintak daftar pustakanya
BalasHapusdiahlestari245@gmail.com
Thanks infonya, menarik banget. Oiya ngomongin pola asuh anak, ternyata ada loh cara asuh yang cerdas biar anak itu bisa sukses di masa depan seperti miliarder Bill Gates. Gimana caranya? Yuk liat selengkapnya di sini: Cara asuh orang tua Bill Gates
BalasHapusSangat bermanfaat, https://www.cekaja.com/info/asuransi-kesehatan-untuk-gaji-3-juta-dengan-premi-terendah
BalasHapus